Pencaksilat merupakan seni bela diri tradisional yang berasal dari Indonesia. Sejarah pencak silat berawal sejak abad ke-7 Masehi. Ketika ilmu bela diri ini mulai menyebar di nusantara. Meski begitu asal muasal pencak silat sendiri masih belum ditentukan dengan pasti. Disadur dari wawancara dengan Eddie Marzuki Nalapraya, disebutkan pencak silat berasal dari dua [] Barang siapa yang tak kenal dengan cerita bersambung karya SH. Mintardja yang berjudul Api Di Bukit Menoreh ADBM boleh lah dibilang anak kemarin sore. Cerita silat Jawa berlatar sejarah jaman awal terbentuknya Kerajaan Mataram Islam itu mencetak rekor sebagai cerita bersambung terpanjang sepanjang sejarah, setidaknya sejarah persilatan Jawa. Bagaimana tidak, cerita yang dimuat secara bersambung di harian Kedaulatan Rakyat dan setiap bulan dibukukan itu terbit hingga jilid ke-396 dalam rentang waktu sangat panjang, 32 tahun. Jilid 1 Api Di Bukit Menoreh terbit pada tahun 1968 dan terus berlanjut sampai terpaksa berhenti karena SH Mintardja menutup mata pada 18 Januari 1999 dalam usia 65 tahun. Awal membaca ADBM adalah dengan menyewa bukunya di kios pinggir jalan di Kota Purwokerto. Di sana pula buku silat Asmarawan S Kho Ping Hoo dan berbagai cerita komik saya lahap. Namun karena mendiang bulik Wardjo yang tinggal di gang Kranji selalu membeli ADBM terbaru, maka akhirnya saya rajin ke rumah bulik, hanya untuk pinjam buku. Akibatnya saya diledek bulik setiap datang. Cerita ADBM memang sangat memikat dan merangsang imajinasi. Bagaimana seorang Agung Sedayu yang sangat penakut namun memiliki kemampuan bidik luar biasa berhasil melewati masa-masa sulit, menjadi murid orang bercambuk misterius yang sakti bernama Kiai Gringsing, dan kemudian menjelma menjadi pemuda tangguh, namun tetap dihantui sifatnya yang ragu-ragu. Hubungan Agung Sedayu dengan Senapati Pajang Untara kakangnya, Swandaru Geni adik seperguruan yang gemuk dan bersumbu pendek, Sekar Mirah adik Swandaru yang perajuk, Sidanti pemuda ambisius culas murid Ki Tambak Wedi menjadi pusat cerita pada jilid-jilid awal. Peperangan dengan sisa-sisa laskar Jipang, setelah tewasnya Arya Penangsang, yang dipimpin Tohpati atau Macan Kepatihan menjadi bagian ketegangan cerita. Api perselisihan merambah ke Menoreh setelah hancurnya Tohpati, menyerahnya Sumangkar adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang bersenjatakan tongkat tengkorak baja putih, dan menyingkirnya Ki Tambak Wedi dan Sidanti ke tanah perdikan itu setelah markasnya dihancurkan pasukan Pajang yang dipimpin Senapati Untara dan didukung Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru. Di tengah membaranya api pertentangan di Menoreh yang dibakar Sidanti, Ki Tambak Wedi dan Argajaya tokoh ambisius adik Argapati atau Ki Gede Menoreh, gadis cantik halus bernama Pandan Wangi adik tiri Sidanti, puteri Ki Gede Menoreh bertemu Gupita Agung Sedayu yang ditaksirnya namun justru ia harus menerima cinta Gupala Swandaru Geni. Ketika api di Tanah Perdikan Menoreh padam dengan tewasnya Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang ternyata ayah Sidanti, serta tobatnya Ki Argajaya, cerita kemudian bergeser dengan pergulatan menyusul dibukanya alas Mentaok oleh Sutawaijaya dan Ki Gede Pemanahan yang menjadi awal berdirinya Mataram. Pertentangan antara Mataram dan Pajang membakar Menoreh lagi. Ada masa dimana saya bosan dan terputus membaca kisah ADBM, oleh karena terlalu banyak dan panjangnya kisah kembangan tak penting yang disisipkan ke dalam cerita utama. Hal itu memberi kesan ADBM manjadi amat bertele-tele, tidak sebagaimana karya legendaris SH Mintardja sebelumnya yaitu Nagasasra dan Sabuk Inten yang tamat pada jilid ke-29. Bagian yang menarik di ADBM adalah saat terurainya misteri sosok Kiai Gringsing, pesatnya perkembangan ilmu Agung Sedayu yang begitu luar biasa setelah menekuni ilmu dari buku peninggalan perguruan Windujati, salah pahamnya Swandaru terhadap tingginya ilmu saudara seperguruannya itu, dan cinta terpendam Pandan Wangi terhadap Agung Sedayu. Beberapa tahun kemudian baru saya ketahui bahwa setidaknya ada dua penulis yang melanjutkan kisah legendaris ini. Yang pertama adalah ADBM lanjutan karya Flam Zahra yang berani dan imajinatif, hanya sayang berhenti pada jilid 403. Karya ini patut diapresiasi dan akan sangat menarik jika saja diteruskan, meski ada sejumlah bagian yg perlu diperbaiki untuk konsistensi cerita. Kelanjutan ADBM yang satu lagi ditulis oleh seseorang yang menamakan diri Panembahan Mandaraka mBah Man dari Padepokan Sekar Keluwih, dimulai dari ADBM Jilid ke-397 hingga tamat pada jilid 416 dengan meninggalnya Swandaru setelah membisikkan pesan misterius kepada Ki Rangga Agung Sedayu RAS yang diduga agar RAS mengawini Pandan Wangi. Selanjutnya ADBM diteruskan mBah Man dengan membuat judul baru Sejengkal Tanah Setetes Darah. Meskipun mencoba menyesuikan dengan gaya tulis SH Mintardja, tanpa terlalu bertele-tele dalam bercerita, mBah Man bisa dibilang lebih "berani" dalam memainkan karakter utama dan masuk lebih dalam ke bagian sensitif dan pribadi, meski tak seberani, seliar dan seterbuka buku Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Namun sayang sekali, terakhir kali saya membaca tulisan mbah Man, ia sudah mengikuti jejak pengarang aslinya, yaitu ceritanya mulai terlalu betele-tele dengan menulis yang remeh temeh, dan melenceng jauh dari alur utamanya. Bagaimana pun di tengah keringnya cerita silat berlatar sejarah, upaya mbah Man untuk menghidupkan ADBM sangat layak untuk diapresiasi., seorang pejalan musiman dan penyuka sejarah. Penduduk Jakarta yang sedang tinggal di Cikarang Utara. Traktir BA secangkir kopi. Secangkir saja ya! Oktober 28, 2017.
cerita silat jawa mataram
CDCerita Silat Mandarin - Blog ini menyediakan cd dan dvd murah dan terlengkap Online shop cd dan dvd murah dan lengkap : * Photografi * Cerita Silat * Membuat Gitar * Sulap * Martial Art * Novel * Komik * IPTEK - Pendidikan * Sex Education * Kesehatan * Bisnis dan Motivasi * Hobby * Militer * Sport DLL. - Asmaraman Kho Ping Hoo dan SH Mintardja adalah dua sosok penulis cerita silat legendaris di eranya. Di mana masyarakat begitu menggemari cerita-cerita yang disuguhkan. Jika Kho ping Hoo mengambil setting cerita di negeri Cina, lain lagi dengan SH Mintardja, ia mengambil latar belakang Jawa. Di dalam karir kepenulisannya, SH Mintardja lebih banyak dikenal sebagai penulis kisah bersambung cerita silat dengan setting kerajaan Mataram hingga era Sultan Agung. Karya-karyanya bertebaran di beberapa surat kabar, seperti Harian Bernas berjudul Mendung di Atas Cakrawala dan Api Di Bukit Menoreh di Kedaulatan Rakyat. Api Di Bukit Menoreh adalah karya terpanjang Sh Mintardja, di mana beliau menuliskannya hingga 396 episode. Api Di Bukit Menoreh juga salah satu karya SH Mintardja yang kemudian dijadikan sebagai cerita film layar lebar. SH Mintardja pria kelahiran Yogyakarya, 26 Januari 1933. Nama SH di depan Mintardja sendiri adalah kepanjangan dari Singgih Hadi. Maka beberapa kerabatnya akrab memanggilnya dengan P Singgih. Baca Juga Candi Panataran, Candi Pemujaan Termegah dan Terluas di Jawa Timur Ia pernah bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan pada 1958. Lalu, di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud DIY pada tahun 1989. Sejak muda, SH Mintardja memang sangat menyukai dunia seni. Setelah menyelesaikan pendidikannya di bangku menengah atas, ia dan tiga orang temannya, Kirdjomuljo, Nasjah Jamin Widjaja, dan Sumitro mendirikan majalah Fantasia dan Intermezzo. Berbekal pengetahuan sejarah, ditambah mendalami kitab Babat Tanah Jawi yang beraksara Jawa, lahirlah cerita Nagasasra Sabuk Inten. Kisah berlatar belakang kerajaan Demak itu melahirkan tokoh Mahesa Jenar. Karena cerita Nagasasra sebanyak 28 jilid begitu meledak di pasaran dan amat digandrungi pembaca, banyak orang yang terkecoh dengan cerita roman sejarah itu. Banyak yang mengira Mahesa Jenar benar-benar ada dalam sejarah Demak. Akibatnya, tim sepakbola asal Semarang pun dinamakan Tim Mahesa Jenar. Mungkin dengan nama itu Wong Semarang berkeinginan kiprah tim sepakbola sehebat Mahesa Jenar dengan pukulan “Sasra Birawa”-nya yang menggeledek. Baca Juga The Broken Circle Breakdown Menguji Sebentuk Kesetiaan “Padahal saya memperoleh nama itu begitu saja. Rasanya kalau diucapkan sangat indah dan kalau didengar kok enak,” ujar Mintardja dalam pengakuannya di buku Apa dan Siapa Orang Yogyakarta, edisi 1995. Buku Nagasasra belum surut dari pasaran, SH Mintardja membuat kisah Pelangi di Langit Singasari dimuat di Harian Berita Nasional tahun 1970-an kemudian dilanjutkan dengan serial Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan. Agaknya suami Suhartini yang tinggal di Kampung Daengan, Gedongkiwo, Yogya ini tidak pernah mengenal lelah. Pada tahun 1967 menggelindingkan Api di Bukit Menoreh mengambil kisah berdirinya kerajaan Mataram Islam. Di sana ada tokoh Agung Sedayu, Swandaru, Kyai Gringsing, Sutawijaya, dan paling terakhir adalah Glagah Putih dan Rara Wulan — saudara sepupu sekaligus murid Agung Sedayu. Ada sementara penggemar cerita SH Mintardja yang bilang, bila dijajarkan, maka cerita Api di Bukit Menoreh panjangnya melebihi jarak Anyer – Panarukan. Baca Juga Inilah Juara Musabaqah Hafalan Al-Qur'an dan Al-Hadits 2022 Di sisi lain, Mintardja pun berusaha menulis kisah petualangan pendekar pembela kebenaran yang lebih pop. Kisah itu tidak terlalu keraton sentris, namun berusaha digali dari kisah kehidupan sehari-hari dengan setting masa lalu, ya apalagi kalau tidak jauh dari kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa. Kisah seperti Bunga di Atas Batu Karang yang mengisahkan masuknya pengaruh Kumpeni Belanda ke Bumi Mataram; kemudian serial Mas Demang yang “hanya” mengisahkan anak seorang demang. Dan terakhir adalah tokoh Witaraga dalam kisah Mendung di Atas Cakrawala, mantan prajurit Jipang yang kalah perang yang berusaha menemukan jatidirinya kembali dengan mengabdi pada kebenaran dan welas asih. Ada yang khas dari seluruh kisah yang ditampilkan SH Mintardja. Ia berusaha menyelipkan pesan-pesan moral di dalamnya. Bahkan di dalamnya juga diperkenalkan beberapa kebudayaan Jawa yang mungkin saat ini mulai punah. Sebagai contoh adalah ungkapan rasa syukur menjelang panen padi di desa-desa. Upacara “wiwit” yang berarti “mulai” panen, berupa pesta kecil di tengah sawah, beberapa kali dengan jelas ditampilkan dalam beberapa ceritanya. Adat kebiasaan “mitoni” atau “sepasaran” dalam menyambut kelahiran bayi di masyarakat Jawa pun dengan pas digambarkannya. Banjir darah tidak selalu dijadikan penyelesaian akhir untuk menentukan bahwa yang benarlah yang menang. Ada penyelesaian akhir yang lebih pas. Bertobat, tanpa harus ada yang terbunuh. Bahkan ayah 8 anak, empat putra dan empat putri serta kakek 12 cucu ini, sejalan dengan usia dan perkembangan zaman, kematangan menulisnya pun semakin tercermin di dalam kisahnya. Disadur dari berbagai sumber *** Search Cerita Silat Penginapan Pintu Naga. Benar saja, pintu itupun berderit-derit dan terkesan susah untuk bergerak Perjanjian Dengan Roh 144 Cerita Silat : Pendekar Super Sakti [Kho Ping Ho] 7, Gudang Cersil [Cerita Silat], Cerita Silat : Pendekar Super Sakti [Kho Ping Ho] 7 Pertarungan Pendekar Mabuk Titisan Ilmu Setan Lentera Kematian Rahasia Download Lengkap Cerita Silat Cersil Terbaru
Agung Sedayu Terpedaya Terdengar kicauan burung-burung liar di pepohonan yang tumbuh di belakang pekarangan sebuah rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga kecil. Langit yang cerah menjadikan hamparan pemandangan yang berada lereng Merapi begitu indah. Sesekali pedati melintasi jalan yang terjulur di bagian depan rumah keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Tetapi pagi itu, keadaan sekitar rumah dan lingkungan tetangga nampak sepi.“Apakah kau tidak melihat keadaan barak, Kakang?” tanya Sekar Sedayu menggelengkan kepala dan katanya, ”Aku telah meminta Sukra untuk pergi ke sana dan menemui Ki Lurah Sanggabaya. Aku katakan jika aku akan menyusulnya setelah matahari sedikit lingsir ke barat.”Sekar Mirah mengangguk menuangkan wedang sere ke dalam mangkok suaminya. Ki Rangga Agung Sedayu menggeser tempat duduknya dan diraihnya kedua tangan Sekar Mirah. Ia mendesis pelan, ”Bagaimana menurutmu jika kita pergi ke Jati Anom?” “Menurutku itu gagasan yang baik setelah peristiwa yang melibatkan Perguruan Kedung Jati. Lagipula kita lama tidak melihat keadaan Paman Widura dan mungkin kita dapat singgah sejenak di Sangkal Putung,” kata Sekar Mirah lalu, ”saya ingin melihat anak Kakang Swandaru.” Sejenak ia memandangi suaminya yang belum nampak keriput di wajahnya meskipun satu dua helai rambut berwarna putih mulai menghiasi kepala Agung Sedayu. “Baiklah,” Agung Sedayu berkata. Kemudian, ”Aku akan memberi tahu Ki Gede tentang rencana kepergian kita lalu beberapa pesan akan aku berikan pada Ki Lurah Sanggabaya.” Ia bangkit lalu melangkah masuk untuk berbenah diri. Tak lama kemudian Sekar Mirah mengikutinya dari belakang. Namun Sekar Mirah adalah wanita yang telah menerima gemblengan dari Ki Sumangkar sehingga pendengarannya dapat menangkap desir halus yang mendekatinya. Ia berhenti lalu memutar pandangannya. Tiba-tiba seorang melayang tinggi melewati regol halaman rumah Agung Sedayu dan berdiri sambil bertolak pinggang di tengah-tengah halaman.“Apakah ini rumah Agung Sedayu?” lelaki itu bertanya dengan ketus. Sementara itu Agung Sedayu yang baru saja melintasi pringgitan segera melesat keluar. “Ki Sanak mengejutkan kami,” kata Agung Sedayu sebelum Sekar Mirah sempat berkata-kata. Orang itu tertawa. Katanya,”Aku perlu berbicara denganmu.” Ia melirik Sekar Mirah dan sambil menudingkan jari telunjuk,”Hei, kau dapat meninggalkan kami berdua.” Meskipun Sekar Mirah adalah perempuan yang berusia masak dan mempunyai pengalaman yang luas, namun ia tersinggung karena sikap kasar lelaki yang berdiri di tengah halaman rumahnya.“Jaga bicaramu, Ki Sanak! Kau tidak akan dapat berjalan seperti biasanya apabila kau masih bersikap tanpa santun di depan kami!” tukas Sekar Mirah. “Tentang apa Ki Sanak?” tanya Agung Sedayu sambil meraih lengan istrinya agar dapat menahan diri lebih jauh. “Apakah kau ingat tentang Ki Tumenggung Prabandaru, Agung Sedayu?” bertanya lelaki itu. Agung Sedayu menganggukkan kepala. Katanya, ”Aku mengingatnya sebagai seseorang yang tangguh dan sangat kuat.” “Apakah kau ingat pula tiga orang bajak laut yang terbunuh mengenaskan karena pengeroyokan di tanah ini?” lelaki itu bertanya lagi. “Sembarangan kau bicara, Ki Sanak!” sahut Sekar Mirah dengan wajah memerah, ”kau pasti mendengar kabar yang salah tentang kematian bajak laut itu. Mereka mati dalam perang tanding yang adil, bahkan mereka yang memulai kecurangan itu.” “Mereka berbuat curang? Bukankah itu karena lelaki disampingmu yang mengubah wujudnya menjadi tiga? Lelaki itulah yang berbuat curang dalam perang tanding, Nyi Sanak!” bentak lelaki itu sambil menuding ke arah Agung Sedayu. Wajah Agung Sedayu berkerut. Ia berkata, ”Mengubah diri adalah kewajaran dalam satu perang tanding, Ki Sanak. Karena wujud itu pun dapat menghilang.” “Kecurangan selalu diikuti oleh kebohongan, Agung Sedayu. Selamanya akan begitu. Kebohongan yang kau katakan di hadapanku akan membuahkan kebohongan baru di masa mendatang. Dengan begitu, anak cucumu hanya mendapat berita bohong yang disampaikan turun temurun,” kata lelaki itu. Agung Sedayu termenung sejenak. Kemudian ia bertanya, ”Apakah kau mempunyai hubungan dengan Ki Tumenggung Prabandaru?” “Tidak.” Agung Sedayu melangkah turun dari pendapa kemudian bertanya lagi,” Lalu apa hubunganmu dengan bajak laut yang mungkin ingin kau bangkitkan dari kematian?” “Aku adalah sahabat mereka.”
BanjirDarah di Borobudur Jilid 01. 9 minute read. Kisah ini terjadi pada waktu agama Hindu dan Agama Budha berkembang luas, dan berpengaruh serta berkuasa di pulau jawa. Seribu tahun lebih yang lalu kedua agama ini yang datangnya dari India, membawa kebudayaan yang tinggi kepada rakyat di Pulau Jawa. Betapapun besar dan hebat pengaruh agama
CERSIL INDONESIASerial Keris Pusaka Sang Megatantra 02. Nurseta Satria Karang Tirta, Jilid 01-10, 11-20 Tamat04. Perawan Lembah Wilis, Jilid 01-10, 11-20, 21-30, 31-40, 41-48 TamatSerial Pecut Sakti Bajrakirana 01. Pecut Sakti Bajrakirana, Jilid 01~10, 11~18 Tamat02. Seruling Gading, Jilid 01~12, 13~24 Tamat03. Alap-alap Laut Kidul 29 Jilid04. Bagus Sajiwo, Jilid 01~10, 11~21 Tamat05. Kemelut Blambangan JilidSerial Sejengkal Tanah Sepercik Darah 01. Sejengkal Tanah Sepercik Darah, Jilid 01-12, 13-23 Tamat02. Geger Singosari dan Majapahit JilidSerial Geger Demak Pajang 01. Geger Demak Pajang dan02. Setan Kober 6 JilidCerita Silat Lepas Jawa 06. Kemelut di Cakrabuana07. Kemelut di Majapahit 32 Jilid13. Rondokuning Membalas Dendam 6 Jilid15. Geger Solo Jilid16. Darah Daging Jilid17. Merdeka atau Mati Jilid
Padakoleksi e-book cerita silat kali ini menampilkan beberapa Cerita Silat Jawa karya Kho Ping Hoo. Antara lain; Banji Darah di Borobudur, asmara dibalik dendam Membara, Bajak Laut Kertapati, Jaka Galing, Kemelut di Majapahit, Keris Pusaka dan Kuda Iblis, Keris Pusaka Nogopasung, Kidung Senja di Mataram, Retno Wulan, Rondo Kuning Membalas dendam, Satria Gunung Kidul (Saritama), Keris Pusaka Dalam pada itu berangkatlah sepasukan prajurit segelar sepapan. Yang dipimpin langsung oleh Raden Pamekas dan Ki Lurah Rangga Jati. Pasukan itu bergerak saat dini hari, agar saat fajar menyingsing mereka bisa langsung menggempur sasaran mereka di Padepokan Watu Belah, Alas Mentaok. Mereka bergerak dari alun-alun Pajang menuju Prambanan, kemudian melintasi Kali Opak, setelah itu baru masuk kawasan Alas Mentaok. Linggar dan Wurpasa tidak dalam satu pasukan melainkan memisahkan diri untuk melihat keadaan yang akan dilalui iring-iringan prajurit tersebut. Walaupun iring-iringan itu bergerak pada saat orang-orang sedang lelap tertidur, tetapi derap langkah kaki kuda para prajurit itu tetap saja membangunkan orang-orang yang rumahnya berada disepanjang jalan menuju Prambanan. Sebagian dari mereka ada yang tetap saja tidur mendengkur, tetapi sebagian lagi ada yang pula mengintip dari celah bilik rumahnya dengan jantung berdebaran. Suara ayam jantan tersamar dengan suara derap kuda sepasukan prajurit Pajang. Suaranya mendebarkan jantung orang yang bermukim di sepanjang jalan utama Wilayah kadipaten Pajang itu. “Tahta memang terlah membuat orang lupa diri, Nyi. Dan karena tahta pula orang saling benci dan mendendam. Seharusnya itu tidak perlu terjadi, kalau kita semua saling bercermin pada diri kita sendiri,” kata seorang kakek tua. Yang mengintip dari bilik kamarnya. “Sudahlah Ki.., tidak perlu ikut-ikutan mengurusi Wahyu Keraton itu. Siapa yang berhak diantara mereka, Arya Jipang atau Karebet itu, aku sudah tidak peduli lagi. Yang jelas sekarang kita istirahat saja. Karena esok kita harus mencari nafkah lagi untuk kebutuhan hidup kita sehari-hari. Jadi tidak perlu bagi kita untuk mengurusi gegayuhan dari para bangsawan tanah Jawa itu, “berkata seorang nenek dari pembaringannya. Kemudian menarik selimut dengan malasnya. Hingga akhirnya suara gemuruh kuda itu, derapnya pun berangsur-angsur mulai tak terdengar lagi. Barulah kakek yang mengintip tadi kembali lagi ke ranjang tidurnya menemani isterinya. Derap kuda itu mengantarkan sepasukan prajurit itu melintasi Prambanan dan Kali Opak. Setelah beristirahat sejenak di tepian Kali Opak yang jernih itu, barulah mereka berangkat lagi. Suasana berganti tegang ketika fajar tiba di Alas Mentaok. Sementara Linggar dan Wurpasa telah terlebih dahulu berada didekat pintu masuk Padepokan Watu Belah. Belum sempat mereka berdua mengatur napas, dari balik bongkahan batu belah itu muncul sepuluh orang dari padepokan Watu Belah. “Kalian berdua mau cari mati rupanya?” berkata salah seorang dari mereka yang bermata cekung. “Minggirlah!” kata Linggar. Aku tak ingin melukai kalian dengan pedangku. Aku hanya ingin menangkap orang yang menyebut dirinya Pangeran Pujapati itu!” “Kurang ajar! Pastilah kalian orang-orang Pajang. Betapa sombongnya kalian berniat menangkap pimpinan kami, apa kalian sudah bosan hidup?” kata orang yang bermata cekung tadi. Linggar tak menjawab, begitupun Wurpasa yang telah menghunus pedangnya. Linggar sendiri kemudian menarik sepasang pedangnya dari lambungnya. Dua bilah pedang tipisnya berkilap diterpa cahaya mentari pagi itu. Orang bermata cekung tadi langsung merangsek ke depan bersama sembilan orang lainnya. Mereka langsung mengepung kedua telik sandi dari Pajang itu. “Apa boleh buat, Wurpasa. Kehadiran kita sudah mereka ketahui.” “Tetapi jumlah mereka terlalu banyak Linggar,” sahut Wurpasa. “Rapatkan punggungmu pada punggungku. Kita hanya tinggal menahan mereka beberapa saat, sebentar lagi kawan-kawan kita akan datang membantu,” kata Linggar. Terjadilah pertempuran yang tidak sebanding kemudian. Sepasang pedang Linggar berkelebat membendung tebasan pedang dan tusukan tombak lawan. Wurpasa sendiri tak kalah gesit. Meskipun harus melawan jumlah yang tidak sebanding, tetapi dengan memusatkan pikiran pada serangan lawan, ia mampu bertahan. “Kurang ajar!” kata orang yang bermata cekung tadi. “Jangan beri kesempatan dua penyusup ini mengamati keadaan! Serang dengan cepat.” Mendengar perintah itu, semua anak buahnya langsung mendesak Linggar dan Wurpasa. Linggar yang tak ingin dikuasai lawan, langsung mendesak lawan. Dengan dua pedangnya dia mematahkan sabetan dan tusukan senjata lawan. Baru kemudian setelah ia melewati dua musuh didepannya, gagang pedangnya dipegang terbalik sejajar dengan dua lengannya. Lalu pedang itu ia gerakkan setengah putaran kesamping. Akibatnya, pedang tipisnya mampu melukai dada dua lawannya. Dada kedua musuhnya itu mengeluarkan darah. Dua orang itu pun surut memeganggi dadanya yang terluka. Pimpinan mereka yang bermata cekung pun dibuat terkesima dengan permainan pedang Linggar. Tetapi ketakjubannya itu tidak berlangsung lama, karena Linggar kembali mendesaknya untuk mempengaruhi ketahanan jiwa lawan. Orang bermata cekung itu pun tidak tinggal diam. Dengan pedangnya ia menepis pedang Linggar yang bergerak cepat menebas dan menusuk. Tetapi ternyata ia bukanlah lawan yang sepadan bagi Linggar. Kendati pun anak buahnya membantu serangannya, tetapi Linggar paham betul menilai keadaan. Akhirnya ketika Linggar membenturkan pedangnya, pedang milik orang yang bermata cekung itu tergetar hebat dan patah dibagian tengahnya. Kejadian itu membuat pimpinan Padepokan Watu Belah itu terkesima. Linggar pun memanfaatkan keadaan lawan itu dengan menendang lambung lawannya dengan kaki kanannya. Disusul dengan kaki kirinya setelah memutar balik tubuhnya. Orang bermata cekung itu pun terhuyung-huyung terdorong kebelakang, lalu jatuh terduduk di tanah. Dengan cepat Linggar menempelkan pedangnya ke leher orang itu. Sungguh suatu gerakan yang cepat dan tak terduga-duga. “Perintahkan orang-orangmu menyingkir! Sebelum aku jadi hilang kesabaran!” Linggar mengancam. Orang itu pun bangkit dan beringsut mundur menjauhi pintu masuk padepokan Watu Belah, diikuti anak buahnya yang lain. Tetapi dari atas bongkahan batu itu ternyata ada orang padepokan yang sedari tadi mengamati. Melihat lapis pertama dapat dilumpuhkan Linggar, orang itu melontarkan panah sanderan ke arah pusat padepokan. Sebagai pertanda bahwa ada bahaya mengancam. Salah seorang prajurit Pajang yang baru datang kemudian bersama rombongan Raden Pamekas tidak tinggal diam. Prajurit itu melontarkan panahnya ke arah orang yang melontarkan panah sanderan tadi. Akibatnya, orang itu tertusuk panah di dada dan jatuh terjerembab dari atas bongkahan batu tersebut. Raden Pamekas dan Ki Lurah Rangga Jati yang datang kemudian, sempat menyaksikan Linggar dan Wurpasa dapat melumpuhkan lawan. Raden Pamekas pun mengagumi kemampuan dua telik sandi Pajang itu. “Luar biasa Rangga Jati! Kau mampu membuat kedua anak muda itu begitu tangguh,” kata Raden Pamekas. “Hamba hanya membentuk apa yang sudah ada pada diri Linggar sebelumnya, Raden. Dan juga keuletan Wurpasa membuat ia dapat menyesuaikan diri dengan Linggar, meskipun belum sepadan bila dibandingkan dengan Linggar. Selebihnya tentu atas tuntunan dan petunjuk Ki Wila dan Raden sendiri,” kata Ki Lurah. “Ya. Dua telik sandi ini memang cukup tangguh, terutama Linggar,” Kata Raden Pamekas lagi. “Hanya saja dendam didadanya memang belum sembuh benar, akibat peristiwa sebelumnya. Mudah-mudahan seterusnya ia dapat segera melupakannya.” Kemudian, pasukan segelar sepapan sudah menggabungkan diri dengan dua telik sandi itu. Selanjutnya bergeraklah pasukan itu memasuki gerbang padepokan Watu Belah. Tetapi didalam padepokan kegemparan telah terjadi, karena isyarat panah sanderan yang telah dilepaskan sebelumnya itu, telah diketahui para penghuni padepokan. Mereka berlarian kesana-kemari mempersiapkan diri dan mencari tahu apa yang terjadi. Bajul Wedi dan beberapa petinggi Pajang yang lain, yaitu Derpayuda dan Purbasana menjadi was-was. Mereka tidak dalam keadaan siaga, setelah tadi malam berpesta dan mabuk tuak. Bajul Wedi selaku cantrik padepokan langsung bergegas keluar melihat keadaan yang terjadi. Sepeninggal Cantrik padepokan itu, tampak dua tumenggung Pajang itu menjadi gelisah. “Derpayuda! Rupanya rencana kita telah tercium Wilamarta, sebagai orang yang diperintah langsung kanjeng Adipati Hadiwijaya. Ia adalah kepanjangan tangan dari Pajang dalam hal ini,” kata Purbasana sambil berjalan hilir-mudik. “Aku juga tidak menyangka, padahal kita sudah menutup rapat rahasia ini. Bahwa pagi ini kita akan berangkat menyerang Mangir. Prajurit yang kita libatkan pun sudah orang-orang yang bersumpah setia pada kita. Aku tidak habis pikir, malah mereka yang mendahului menyerang padepokan ini!” kata Derpayuda. “Pasti telik sandi dibawah pimpinan Rangga Jati yang sudah mengetahui rencana ini,” kata Tumenggung Purbasana, geram. “Kita harus bertindak cepat dan hati-hati, Purbasana. Kita tidak tahu apakah padepokan ini akan menang atau bertahan berbenturan dengan Pajang?” “Maksudmu?” tanya Purbasana. “Kita harus pandai menempatkan diri dan menutupi jatidiri kita, sebelum kita tahu akhir dari pertempuran ini. Siapa yang terkuat Padepokan Watu Belah atau Pajang?” ujar Derpayuda. “Maksudmu kita harus bersembunyi sampai peperangan usai?” tanya Purbasana menegang. “Tidak! Kita hadapi mereka tetapi dengan menutup sebagian wajah kita dengan kain penutup wajah. Agar tidak mudah dikenali, bahwa kita ini adalah pejabat di Pajang.” Purbasana mengangguk-angguk, sepakat. Lalu mereka berdua segera bergegas keluar dan mengatur puluhan prajurit yang mereka bawa sebelumnya dari Prambanan. Dengan dipimpin seseorang Lurah diantara mereka, mereka pun diperintahkan maju ke regol padepokan. Sementara dua tumenggung itu hanya mengikuti dan memantau dari belakang barisan. Sementara itu terlihat disana-sini para penghuni padepokan telah bersiap menyongsong serangan dari luar padepokan itu. Suara kentongan dengan nada titir terus-menerus terdengar memberi isyarat bahwa ada bahaya yang mengancam mereka. Para penghuni padepokan mempersiapkan diri dengan mengambil senjata-senjata, berupa pedang, tombak, keris bahkan beberapa senjata lontar seperti lembing. “Celaka Pangeran! Pasukan Pajang telah memasuki pintu gerbang padepokan Watu Belah. Bahkan keadaan kita belum siap sama sekali.” Orang yang dipanggil Pangeran itu berwajah dingin dan berkulit bersih. Ia hanya tersenyum tipis. Pangeran yang merasa turut berhak atas wahyu keraton itu memandang keluar jendela, lalu berkata, “hadapi saja mereka, kita tidak perlu takut. Aku akan segera menyusul dengan Kiai Jambe Abang.” “Baik Pangeran!” sahut Bajul Wedi kemudian bergegas keluar. Setibanya di luar Padepokan ia langsung memerintahkan para murid padepokan menuju regol dan mempertahankan pintu regol agar tetap dalam keadaan tertutup. Pintu regol itu terbuat dari batang pohon jati yang kuat serta disusun berjajar rapat, dengan tinggi dua kali orang dewasa. “Pertahankan pintu regol itu! Beri penahan batang-batang pohon yang tersedia di padepokan, agar tidak mudah didobrak!” perintah Bajul Wedi. Perintah itu pun disambut cepat para murid padepokan. Mereka secara bergotong-royong menambah penyangga gerbang regol itu dengan batang-batang pohon setinggi orang dewasa, dengan lebar sepelukan tangan orang dewasa. “Lontarkan anak panah ke arah para prajurit Pajang itu!” Jangan biarkan mereka mendekat ke pintu regol!” perintah Bajul Wedi. Seketika itu pula dua regu pemanah, yang masing-masing regu terdiri dari tiga orang. Memanjat Gardu pandang yang ada di kanan dan kiri gerbang regol. Dari ketinggian gardu pandang itu, masing-masing regu melesatkan anak panah berkali-kali untuk menghalau prajurit Pajang. Para prajurit Pajang yang sedang berlarian menuju pintu gerbang pun tertahan, karena lontaran anak-anak panah itu. Sebagian dari mereka, ada yang tertusuk anak panah dibagian bahu dan dibagian kaki mereka. Ki Lurah Rangga Jati yang menyaksikan itu segera memerintahkan para prajuritnya berlindung. “Berhenti! Berlindunglah di balik-balik pohon!” perintahnya dengan lantang. “Tunggu aba-aba dariku sebelum bergerak maju! Kita sedang mencari cara agar bisa masuk kedalam Padepokan itu!” “Bagaimana Raden? Agaknya sulit untuk menembus benteng pertahanan mereka,” kata Lurah Rangga Jati. “Ya memang. Dua regu pemanah di gardu pandang itu pun berperisai papan yang berjejer dihadapannya. Hingga sulit bagi kita untuk melumpukan regu pemanah itu,” jawab Raden Pamekas. Sesaat mereka terdiam. Baik Ki Lurah, Raden Pamekas, Linggar dan Wurpasa belum mempunyai cara untuk menyiasati keadaan itu. Tetapi kemudian Linggar memperhatikan Gardu Pandang itu, memang seluruh tubuh pemanah itu tertutup dinding kayu. Dan hanya bagian kepalanya saja yang tersembul keluar. “Ki Lurah dan Raden Pamekas. Bagaimana kalau aku saja yang melumpuhkan salah satu regu pemanah itu?” kata Linggar. “Bagaimana caranya?” tanya Ki Lurah heran. “Aku akan mencoba membidik regu pemanah itu,” jawab Linggar. Sesaat Ki Lurah memandang Raden Pamekas, seolah meminta pertimbangan. Tetapi Raden Pamekas sendiri tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala. Seolah menyetujui usul Linggar. Ki Lurah kemudian menyerahkan beberapa anak panah beserta busurnya kepada Linggar. “Berhati-hatilah!” Linggar lalu berjalan ke medan yang terbuka, yang ada di sebelah kiri. Ia menghadap gardu pandang yang ada di sebelah kiri itu, tetapi terlindung dari jangkauan regu panah yang ada di sebelah kanan. “Hei pengecut! Ayo bidiklah aku, aku ingin melihat seberapa mahir kau memainkan anak panahmu itu!” tantang Linggar. Raden Pamekas dan Ki Lurah Rangga Jati dan seluruh rombongan yang berlindung di lebatnya pohon berdebar-debar, melihat aksi nekat Linggar. Tidak ada jawaban dari regu pemanah itu. Suasana pun mendadak mencekam. Tetapi kemudian dengan serentak regu pemanah itu menampakkan diri, siap membidik Linggar. Linggar pun telah siap dengan tiga anak panahnya yang ada dalam satu busur, yang telah pula ia rentangkan sekaligus. Linggar menarik busur panah itu dengan kuat. Kemudian melesatlah tiga anak panah, dengan kecepatan melebihi kecepatan anak panah regu pemanah tadi. Sungguh diluar dugaan, tiga anak panah Linggar mampu mengenai sasaran tiga orang pemanah di atas gardung pandang tadi. Ketiganya yang ada di gardu pandang kiri itu, mengeluh tertahan menahan sakit. Tiga anak panah Linggar menancap di dada, dan dua lagi di menancap bahu dan lengan diantara mereka. Kini satu regu pemanah dapat dilumpuhkan sudah, hanya tinggal satu regu pemanah lagi. Sorak-sorai diluar melihat kemampuan Linggar melumpuhkan regu pemanah sangat mempengaruhi ketahanan jiwa orang-orang padepokan. Nama Linggar begitu dielu-elukan diantara para prajurit Pajang. “Linggar Wulung..! Linggar Wulung..! Hidup Pajang!” Sorak-sorai itu terdengar begitu riuh. Regu pemanah yang ada di gardu pandang kanan pun menjadi berdebar-debar melihat kemampuan Linggar. Mereka menahan diri untuk menampakkan diri. Sementara di dalam padepokan Bajul, Wedi menggeram melihat satu regul pemanahnya dapat dilumpuhkan. “Kurang Ajar! Siapa telah membidik dengan tepat itu!” katanya penuh amarah. Bajul Wedi merasa perlu membuat siasat, kemudian ia kembali mengatur barisannya. “Siapkan lembing-lembing kalian. Sebentar lagi, kita hujani mereka dengan lembing-lembing itu!” katanya lagi. Maka bergeraklah sekelompok murid padepokan dengan lembing-lembing ditangan siap diluncurkan. Mereka berbaris berjajar menghadap pintu regol yang masih berdiri kokoh disokong batang-batang jati. Diluar Ki Lurah Rangga Jati telah mempersiapkan pula barisannya. Prajurit garda terdepan dipersiapkan membawa tameng berjajar dan di belakangnya berbaris regu pemanah siap menggempur. Regu pemanah di gardu pandang kanan sudah tidak berarti lagi kemudian. Karena beberapa prajurit telah melempari mereka dengan batu-batu seukuran kepalan tangan. Regu pemanah itu berebutan menuruni tangga dengan tergesa-gesa sambil mengerang kesakitan karena terkena lemparan batu, bahkan satu diantaranya jatuh dari tangga. Setelah itu bergeraklah prajurit Pajang mendobrak gerbang regol itu. Dengan sebatang kayu besar yang ditopang beramai-ramai, batang kayu itu bergerak maju-mundur untuk mendobrak gerbang regol. Irama gerakannya sesuai aba-aba dari seorang prajurit yang berdiri menopang batang kayu terdepan. “Maju..! Mundur..!” teriak seorang prajurit, disambut teriakan yang sama secara serentak. Seiring dengan itu gerbang regol mulai tergetar dengan hebat. Lambat-laun ikatan-ikatan gerbang itu pun mengedur. Dari dalam padepokan sendiri, para pelempar lembing menunggu dengan berdebar-debar, menunggu saat gerbang itu roboh, maka lembing-lembing mereka akan siap diluncurkan menghalau laju gerak prajurit Pajang. Dalam pada itu pada baris lapis dua padepokan Watu belah. Tempat dimana prajurit-prajurit pembelot dibawah pimpinan Tumenggung Purbasana dan Derpayuda telah menunggu perintah. Prajurit pembelot itu telah bersumpah setia kepada perjuangan Pangeran Pujapati, tentu dengan imbalan yang berarti. Selama mereka bertugas di Prambanan telah menerima upah yang tidak sedikit dari Padepokan Watu Belah, walaupun asal upah itu didapat dari menjarah dusun-dusun terpencil di sekitar Pajang. “Sebentar lagi gerbang regol itu akan roboh, Purbasana!” “Ya, Derpayuda. Apa boleh buat, kita songsong saja mereka. Seperti rencanamu, jika kita terdesak kita tinggalkan Padepokan ini!” “Tetapi, bagaimana pertanggungjawaban kita nanti pada Kanjeng Adipati jika keterlibatan prajurit kita di Prambanan diketahui, Derpayuda? Dan mereka pun tidak menghubungi kita di Prambanan dalam hal penyerangan ini, bahkan meminta bantuan pun tidak,” kata Purbasana cemas. “Aku tidak bodoh, Purbasana. Bukankah aku memintamu meninggalkan separuh kekuatan prajurit di Prambanan?” Tumenggung Purbasana masih tidak mengerti maksud sahabatnya itu. “Apa hubungannya, Derpayuda?” “Itu bisa kita jadikan dalih, bahwa prajurit yang terlibat disini bukan atas perintah kita. Melainkan atas perintah salah seorang Lurah Prajurit yang telah membelot pada kita.” Tumenggung Purbasana mengangguk-angguk dan bernapas lega kemudian. “Kau memang jeli menyikapi keadaan Derpayuda,” katanya sambil tersenyum. Akhirnya yang jadi pusat perhatian mereka pun, tersibak sudah. Gerbang regol itu mulai bergemeretak, kemudian terdengar suara berderak, seiring dengan itu robohlah gerbang regol padepokan itu. Maka kini diantara kedua kubu tidak ada sekat pemisah, mereka bisa saling melihat keadaan lawan. Dari dalam terlihat pasukan Pajang yang segelar sepapan membawa dan umbul-umbul merah serta hitam berkibar menggetarkan jantung lawan. Dari kubu Pajang pun melihat orang-orang Padepokan yang bersenjatakan lembing-lembing siap diluncurkan, belum lagi senjata-senjata mereka yang lain, yang terlihat tidak lazim baik dari segi bentuk maupun ukuran. Senjata-senjata itu seperti terlihat haus akan darah. Senjata mereka berupa bedog dengan lebar dua kali lipat dari ukuran biasanya. Ada juga yang menggunakan bandil, berupa rantai berbandul gerigi tajam. “Lemparkan lembing-lembing itu! Arahkan pada lawan kita yang terdepan!” perintah Bajul Wedi kemudian. Maka melesatlah berpuluh-puluh lembing tajam ke udara, lalu menukik tajam ke arah prajurit Pajang yang ada di garda terdepan. Tetapi prajurit garda terdepan sudah siap dengan tameng-tameng mereka. Begitu lembing-lembing itu ada di atas kepala, mereka langsung melindungi tubuh mereka itu dengan tameng-tameng itu secara serentak. Pergerakan yang cepat dan diluar dugaan itu membuat pemimpin padepokan Watu Belah terkejut. Tetapi ia tidak patah arang, karena masih ada lembing-lembing berikutnya yang akan menyusul. Tetapi belum lagi aba-abanya terdengar, regu pemanah dari pihak Pajang telah menyibak maju mengganti barisan berperisai sebelumnya. Mereka dengan serentak menarik busur-busur panah mereka diarahkan ke orang-orang padepokan yang bersenjatakan lembing. Akibatnya, anak panah yang melesat berpuluh-puluh itu melukai pihak padepokan, mereka tertusuk panah pada bagian-bagian tubuh mereka, dan kemudian satu-persatu jatuh bertumbangan.
CeritaSilat Jawa " BENDE Mataram ", SEMARANG. 849 likes · 2 talking about this. Cerita silat favorit taun 1965 an
- Cerita silat sempat digandrungi pembaca buku di Indonesia. Kisah disajikan berjilid-jilid, membuat pembacanya tak sabar menunggu episode berikutnya. Beberapa penulis merajai pasar ini, salah satunya Singgih Hadi ratusan judul cerita silat ini dilahirkan di Yogyakarta pada 26 Januari 1933. Selain menjadi penulis cerita silat, Mintardja bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan, dan terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Daerah Istimewa Yogyakarta. Kisah-kisahnya digali dari pelbagai sejarah kerajaan di Jawa. Menurut Teguh Setiawan dalam artikel bertajuk “Dari Hui Rui sampai KPH” yang dimuat Republika edisi 14 November 2011, Mintardja menguasai Babad Tanah Jawi sehingga relatif tak menemui kesulitan saat menulis karya-karyanya. Sebelum Mintradja, penulis lain yakni Kho Ping Hoo telah lebih dulu melahirkan cerita silat yang berlatar cerita-cerita dari Cina. Inilah yang memotivasi Mintradja untuk menulis cerita silat dengan latar sejarah Jawa. “Booming cerita silat Tionghoa memprovokasi penulis lokal untuk menulis genre yang sama tapi dengan latar belakang Jawa. Singgih Hadi Mintardja muncul sebagai penulis cerita silat lokal yang paling fenomenal,” imbuh Teguh Setiawan. Salah satu karya Mintardja yang digandrungi, Api di Bukit Menoreh 1967, terdiri dari 400 lebih seri. Saking populernya, cerita ini sempat diangkat ke layar lebar pada 1971. “Lewat buku ini, saya ingin menegaskan bahwa tanah tumpah darah kami juga memiliki material yang bisa dijadikan bahan cerita silat […] Saya ingin menciptakan cerita saya dengan ruang imajinasi lokal,” kata Mintardja seperti dikutip Teguh Setiawan dalam artikelnya yang lain. Selain Api di Bukit Menoreh, karya lainnya yang laris di pasar adalah Nagasasra dan Sabuk Inten. Cerita ini mula-mula dimuat bersambung di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Kisah ini melahirkan tokoh legendaris bernama Mahesa Jenar yang amat melekat di ingatan para pembaca. Ia dikisahkan sebagai mantan prajurit Kesultanan Demak yang mencari pusaka kerajaan, yakni keris Nagasasra dan Sabukinten. Berkat keteguhannya, ia berhasil mendapatkan kembali kedua keris itu sebagai simbol kejayaan negara. Sepi Ing Pamrih dan Menang Ora Ngasorake Sekali waktu, seperti dilaporkan Tempo edisi 18 Januari 1992, Mahesa Jenar sempat dipentaskan dalam bentuk ludruk di hadapan para tentara. Judul pentasnya “Sapta Mandala Kodam VII Diponegoro”—sekarang menjadi Kodam IV Diponegoro. Seperti perjuangan Mahesa Jenar setelah tak lagi menjadi prajurit Demak, pementasan ini menekankan pentingnya bakti kepada negara meski sudah tidak lagi menjabat. Di sisi lain, sosok Mahesa Jenar yang tanpa pamrih menyentil laku para mantan pejabat yang kerap ingin menjadi “pengusaha profesional atau politikus oplosan.” “Darma kita kepada negara tak harus dilakukan dalam status pejabat resmi. Sambil jadi orang biasa pun jalan darma tetap terbuka,” kata Widayat yang memerankan Mahesa Jenar, seperti dikutip Tempo. Namun, imbuh Tempo, kala itu dekade 1990-an, dan barangkali hingga saat ini, mengikuti laku Mahesa Jenar tidak mudah. Para mantan pejabat tak suka memilih jalan sepi ing pamrih, sebab ia akan ora keduman atau tak kebagian di tengah persaingan mengejar materi dan jabatan baru. Sikap ini dilatari ketakutan para pejabat ketika mereka menjadi mantan pejabat. Segala kekuasaan luruh, hilang dari keseharian yang telah begitu lama dinikmati. Ketakutan berdegap kala masa pensiun telah menunggu di hadapan. “[Menjadi] mantan, pendeknya, gejala menakutkan. Mungkin malah wujud ketakutan itu sendiri. Maka, kalau menjadi mantan tak lagi terhindarkan, maunya mereka mau menjadi mantan yang makmur […] Pendeknya, jangan seperti Mahesa Jenar sepi, dingin, di hutan-hutan, jauh dari bar dan credit card,” pungkas Tempo. Selain bersahaja, sikap Mahesa Jenar yang lain adalah menghindari kekerasan dalam menaklukkan lawannya, setidaknya dalam adegan saat dia mengalahkan Ki Wirasaba. “Menang ora ngasorake” kata pitutur Jawa. Seno Gumira Ajidarma dalam Kompas edisi 24 Januari 1999 mengisahkan adegan ini. Sekali waktu, saat ia berkonflik dengan Ki Wirasaba—orang yang kakinya ia obati sehingga sembuh dari kelumpuhan—Mahesa Jenar tak membunuh atau melukai lawannya. Saat kapak Ki Wirasaba mencuil batu untuk memperlihatkan kesaktiannya, Mahesa Jenar justru menghancurkan batu itu dengan ajian Sasra Birawa. Ki Wirasaba terkejut dan akhirnya menyadari kesalahan dan kelemahannya. Belum Tamat hingga Pungkas Hayat Mintardja wafat pada 18 Januari 1999, tepat hari ini 20 tahun lalu. Ia meninggal di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, setelah sebulan dirawat karena menderita penyakit ginjal dan jantung. Jenazahnya dikebumikan di permakaman Arimatea Jalan Tamansiswa, Yogyakarta. Pemakamannya, seperti dilaporkan Kompas edisi 21 Januari 1999, dihadiri mantan Dirjen Kebudayaan, Kapolda DI Yogyakarta, dan kalangan pejabat pemerintah Provinsi dan Kota Yogyakarta. Selain itu, hadir pula kalangan seniman dan sastrawan seperti Bakdi Sumanto, Sudarso Sp, Butet Kertarejasa, Bondan Nusantara, Yati Pesek, Jadug Ferianto, dan ilustrator sejumlah ceritanya yakni Herry Wibowo. Menurut putra tertuanya, Andang Suprihadi, seperti dilansir Kompas, Mintardja menderita sakit jantung koroner sejak 1989. Meski demikian ia tetap berkarya. “Bapak memang penuh semangat kalau sudah menulis. Kalau sudah khusyuk menulis tidak ada yang berani mengganggunya,” ujar Andang. Infografik Mozaik Singgih Hadi Mintardja Sepanjang hidupnya, selain menulis cerita silat, ia juga menulis cerita ketoprak, di antaranya Ampak-ampak Kaligawe, Kembang Kecubung, Kembang Tumelung, dan Prahara. Sementara cerita silat lainnya yang diangkat ke layar lebar selain Api di Bukit Menoreh adalah Tanah Warisan, yang dalam film judulnya menjadi Sisa-sisa Laskar Pajang 1972. Andang Suprihadi menambahkan, sejak pertama kali dimuat di sebuah surat kabar pada 1968, kisah Api di Bukit Menoreh belum juga selesai sampai hidup Mintardja usai. “Sudah sampai Api di Bukit Menoreh IV/59. Jadi artinya sudah 459 jilid buku. Ceritanya masih terus jalan,” katanya. Kiprah Mintardja dalam dunia menulis dianugerahi sejumlah penghargaan. Salah satunya Sang Hyang Kamahayanikan Award dari panitia Borobudur Writers and Cultural Festival tahun 2012 yang saat itu mengusung tema “Memori dan Imajinasi Nusantara Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara”. Mintardja, yang kata Seno Gumira Ajidarma adalah seorang yang sangat sederhana dan rendah hati serta tidak pernah terlibat polemik sastra yang cerewet, dinilai layak mendapat penghargaan itu. Ia merupakan generasi pertama penulis cerita silat yang mengangkat latar sejarah Nusantara. - Humaniora Penulis Irfan TeguhEditor Ivan Aulia Ahsan

ceritasilat dan kisah kependekaran saya (jilid 1) saya mengenal dunia kependekaran sejak masih (seingat saya) kelas 5 SD. seorang kawan yang sudah SMP di Ajibarang seringkali mengajak patungan untuk menyewa komik-komik silat di sebuah taman bacaan dan persewaan buku dan komik di Ajibarang. dan saya ikut bergantian membacanya. saya tak memesan

Mangesthi menanggapi perubahan pasukan lawannya dengan cara berdiri di tengah-tengah. Tegak menantang dan kokoh seolah-olah sedang menjadi pembatas arus yang berlawanan. Sikap tempur Mangesthi sangat mengesankan! Gagah, penuh wibawa dan nyaris mendekati sempurna sebagai seorang panglima yang tidak pernah menyesap ilmu keprajuritan. “Kalian tetap bergerak!” seru Mangesthi berulang-ulang. Ia menghalau pasukannya yang hendak memasuki lubang jebakan gelar Wulan Tumanggal. Di samping itu, Mangesthi cekatan mengatur susunan prajurit. Setelah merasa cukup menata susunan pasukannya, Mangesthi berbalik wajah, kemudian suaranya menantang serta penuh ancaman, “Adakah orang Mataram yang berani mendekati barisanku? Ada? Siapa? Aku tidak mendengar nama yang kalian sebutkan! Agung Sedayu? Adakah orang itu di sini?” Meski tidak terbuka menyampaikan ancaman melalui serangan kata-kata, tetapi sikap tubuh Mangesthi sudah cukup untuk menyatakan itu. Ki Demang Brumbung tidak gegabah menjawab tantangan perempuan muda berparas cantik itu. Melalui gerakan tangan, Ki Demang Brumbung menahan agar pasukannya tidak terpancing oleh Mangesthi. Di dalam pikiran Ki Demang Brumbung muncul pertanyaan mengenai sumber wawasan Mangesthi yang membuatnya begitu tangguh sebagai pemimpin satuan tempur. “Bukan sesuatu yang tabu, tetapi perempuan itu betul-betul tidak kalah dengan kebanyakan senapati Mataram,” desis Ki Demang Brumbung dalam hati. Keadaan sedikit mengendur. Gugus tempur pasukan Ki Sor Dondong yang dipimpin Mangesthi berhasil menghindari jebakan. Di antara waktu yang cukup sempit, Mangesthi memanfaatkan kesempatan itu dengan memerintah agar pasukannya segera berbenah diri lalu mundur teratur. “Aku dipermalukan tapi itu adalah siasat yang sangat cerdas!” Ki Demang Brumbung menahan geram yang berbaur dengan pujian pada tindakan Mangesthi. Tiba-tiba terdengar ledakan yang berasal dari lingkar perkelahian Glagah Putih. Tanah di sekitar mereka terguncang. Pangeran Purbaya melesat dengan kecepatan yang tiada terkira, seolah terbang di atas bahu-bahu para pengawal kademangan yang berada pada jalur tempuhnya. Namun sepasang mata Pangeran Purbaya tidak melihat seorang pun di tempat itu. Tidak ada Glagah Putih maupun Ki Sor Dondong. Sebatang tombak pendek yang patah tampak tergeletak dalam keadaan hangus pada batangnya. Selain itu, bekas benturan kekuatan raksasa juga terlihat pada jejak-jejak kaki yang terpahat dan kulit pohon yang terbakar. Udara terasa lebih panas di bekas tempat yang menjadi medan perkelahian dua petarung pilih tanding tersebut. Mungkinkah Glagah Putih berhasil mencapai puncak ilmu Namaskara lalu melontarkannya dengan sepenuh tenaga? “Glagah Putih benar-benar menemukan lawan tangguh. Sedemikian meratakah para punggawa Raden Atmandaru? Pandan Wangi, Sabungsari dan sekarang, Glagah Putih, bertiga, mereka begitu aku andalkan untuk membendung serbuan lawan di Sangkal Putung. Apakah semuanya akan sirna dan hilang seperti mimpi yang terhempas angin?” Sedikit gelisah merambah hati Pangeran Purbaya. Sangat wajar apabila panglima sandi Mataram terbelit resah dalam perasaannya. Pertempuran di Karang Dawa seakan memberi jawaban mengenai gambaran kecil kekuatan Raden Atmandaru. “Mereka tidak begitu banyak menghimpun orang-orang untuk dijadikan prajurit. Orang ini, Raden Atmandaru, tidak terjebak pada jumlah maupun ketinggian ilmu kanuragan orang per orang. Meski demikian, sejauh yang aku dapatkan dari benturan-benturan yang terjadi, tampaknya kemampuan mereka memang merata,” ucap Pangeran Purbaya pada dirinya sendiri. Agak jauh di bawah kaki Pangeran Purbaya, sekitar tiga puluh atau empat puluh langkah, Glagah Putih tersangkut rimbun semak ketika tubuhnya menggelinding deras sebab benturan yang sulit dihindarinya. Pada waktu itu, Glagah Putih merasakan panas yang luar biasa sedang menyengat tubuhnya. Meski Ki Sor Dondong tidak lagi berada di dekatnya, tetapi akibat pelepasan puncak ilmunya ternyata meninggalkan akibat yang cukup hebat. Dalam keadaan terbaring, Glagah Putih berusaha mengatur pernapasan dengan cara yang sangat halus seperti yang yang pernah diajarkan oleh Agung Sedayu padanya. Peluh membasahi kain yang menutupi tubuhnya. Ikat pinggang Glagah Putih tampak hangus sebagian. Glagah Putih memang tidak terluka parah, tetapi ia membutuhkan waktu untuk memulihkan daya tahan. Dari jarak yang sebenarnya cukup jauh, pendengaran tajam Pangeran Purbaya dapat mendengar erangan orang yang sedang bernapas berat. Namun ketika Pangeran Purbaya mulai memusatkan perhatian, desah napas itu berangsur-angsur menjadi lembut dan teratur. Setelah mendapatkan perkiraan asal desahan napas, Pangeran Purbaya menjejakkan kaki, mengitari lingkungan, menjaga jarak aman dari serangan rahasia yang mungkin sedang disiapkan lawan Glagah Putih. Patutlah dia menjadi waspada karena keadaan Glagah Putih masih samar baginya. Ilmu meringankan tubuh Pangeran Purbaya memang seperti kekuatan ajaib yang hanya dapat diserap oleh keturunan Panembahan Senapati. Bagaimana tidak? Saudara Panembahan Hanykrawati itu seolah-olah lebih ringan dari serangga terbang yang hinggap di ujung daun! Tidak ada sehelai daun pun yang terayun kuat meski sedang menerima bobot tubuh yang sudah pasti lebih berat dari roda pedati. Maka, dalam waktu singkat, Pangeran Purbaya telah menjangkau tempat Glagah Putih tergolek lemah sebelum memastikan semuanya dalam keadaan aman dan terkendali. Untuk sejenak waktu, Pangeran Purbaya memeriksa keadaan Glagah Putih. Ia bernapas lega karena tidak mendapati luka-luka yang membutuhkan perhatian sungguh-sungguh. Bukan guncangan yang cukup berarti dan mengancam keselamatannya, tapi ia butuh waktu untuk memulihkan tubuhnya agar menjadi lebih bugar, pikir Pangeran Purbaya. “Maafkan saya, Pangeran,” kata Glagah Putih lemah ketika membuka mata lalu melihat Pangeran Purbaya duduk bertumpu tumit di dekatnya. “Ini bukan keadaan yang perlu dimaafkan karena memang tidak ada yang bersalah dalam pertempuran ini,” sahut Pangeran Purbaya dengan nada mentereng. “Mengapa demikian?” “Ini adalah medan perang, Ngger. Jika bukan kemenangan, maka kekalahan atau kedudukan imbang sajalah yang menjadi hasil akhir. Kita tidak dapat mengingkari itu.” “Tapi saya bersedia dihukum karena gagal menahan panglima mereka.” “Permintaanmu lebih terdengar sebagai tangisan sedih seorang lelaki cengeng yang takut menghadapi kenyataan. Bangkitlah segera! Ini adalah perintahku sebagai panglima!” Simak dari awal Kitab Kiai Gringsing Bab 1 – Agung Sedayu Terperdaya Bab 2 – Jati Anom Obong Bab 3 – Membidik Bab 4 – Kiai Plered Bab 5 – Merebut Mataram
Selainkarya-karya yang termuat di artikel ini, masih terdapat karya-karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo lain yang merupakan karangan-karangan lepas (satu judul/kisah tamat) baik berlatar belakang Tionghoa maupun Jawa seperti serial Pecut Sakti Bajrakirana dan serial Badai Laut Selatan yang berlatarbelakang masa Kesultanan Mataram Islam dan zaman Airlangga.
PENDEKAR TERAKHIR TANAH JAWA Bermula pada suatu hari di tahun 1628, Bupati Tegal saat itu, Kyai Rangga mendapat tugas dari Sultan Agung untuk menyampaikan surat kepada Penguasa Batavia Perjalanan ke Batavia menjadi awal pertemuan Kyai Rangga dengan Jampang, Untung Suropati, Sakerah, Sarip Tambakoso, bahkan dengan Badra Mandrawata atau si buta dari gua hantu. Di tengah jalan, di tempat yang jauh dari keramaian, rombongan Kyai Rangga bertemu dengan pasukan VOC dan pasukan mayat hidup, sehingga terjadi pertempuran yang hebat, tanpa pemenang. Ternyata rombongan pasukan VOC itu menyimpan harta karun di sebuah gua. Kyai Rangga yang mengetahu hal itu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan tugasnya mengirim surat ke Batavia, dengan pikiran akan kembali setelah tugasnya selesai. viewsCompleted Bukan Cerita Dongeng Dijodohkan dengan CEO muda, tampan, dan mapan bak cerita dongeng. Tapi jika ikut mendapatkan masalah dan berhadapan dengan masa lalunya, masih mau? viewsOngoing Cerita Cinta Ayu Putri Cerita Cinta Ayu adalah serangkain cerita dari buku diari milik Ayu tentang cinta pertamanya yang tidak diharapkan, bagaimana dia kehilangan orang yang sangat peduli dengannya, dan bertemu dengan laki - laki angkuh yang menyadarkannya tentang cinta yang selama ini telah dia lewatkan. viewsOngoing Kita dan Cerita Pertemuan seorang gadis bernama Rayna dengan teman teman di sekolah barunya menjadikan kisah yang berharga bagi dirinya. Bersekolah bersama sahabatnya serta menemukan teman baru membuatnya semakin menyukai dunia sekolahnya. Ia tidak pernah berpikir akan bertemu dengan seseorang yang kelak akan berpengaruh pada kehidupannya. Bermula saat ia pertama kali bertemu dengan seorang kakak kelas baik hati yang tidak sengaja ia temui diawal awal masuk sekolah. Dan bertemu dengan seorang teman laki laki sekelasnya yang menurutnya sangat menyebalkan. Hingga suatu saat ia tidak tahu lagi harus berbuat apa pada perasaannya yang tiba tiba saja muncul tanpa ia sadari. Ia harus menerima bahwa tidak selamanya 2 orang yang saling menyukai harus terus bersama jika takdir tidak mengizinkan. Hingga ia melupakan satu hal, yaitu ada orang lain yang memperhatikannya namun terabaikan. viewsOngoing Cerita Cinta Kelas Pekerja Cerita ini berkisah tentang seorang perantau asal Sumatera yang terdampar di kota Bogor. Si pemuda yang bernama Heri tinggal di sebuah kost nah,di depan kamarnya si Heri adalah kamar pemilik seorang misterus. Heri tidak sengaja melihat si cewek dikamarnya duduk menunduk sambil memeluk lulut dan memakai stoking hitam, ketika disapa si cewek ini tetap diam dan tidak menjawab. Heri pun menanyakan hal ini kepada penghuni kamar sebelahnya namanya Indra,cowok berambut cepak, Candra mengaku belum pernah melihat ada penghuni di kamar gadis itu. Padahal sebelumnya dia mendengar suara tangisan wanita saat tengah malam. Heri pun mulai menduga yang tidak-tidak. Tapi dugaan Heri tidak salah karena memang benar kamar sebelah dihuni oleh seorang gadis berstoking hitam. Dan tentu dia adalah manusia. Suatu hari Heri dan Candra melihat darah mengalir keluar dari kamar tersebut,sontak keduanya langsung membuka paksa kamar dan melihat si gadis menyayat-nyayat kakinya sendiri. Heri dan Candra pun menyelamatkan si gadis, setelah banyak perlawanan akhirnya si gadis bisa ditenangkan dan di obati. Heri dan Candra orangnya easy going saja tidak menutut dia untuk menceritakan apa yang telah membuatnya depresi, dari sini si gadis itu memulai persahabatnya dengan mereka berdua terlebih kepada Heri yang kamarnya persis berada di depan kamarnya. viewsOngoing MEMBALAS HINAAN BAPAK Cerita Cinta Sang Caddy “Percuma kamu Bapak sekolahkan tinggi-tinggi! Susah-susah pun maksain kamu biar masuk SMA, tapi mana nyatanya sekarang! Sudah mau satu tahun lulus sekolah tapi belum kerja juga! Belum ngasilin duit! Mending adik kamu yang sekolahnya SMP doang, sudah punya pacar anak tukang daging sapi, hidupnya terjamin!” celoteh Bapak. Orang yang Sumi paling takutkan ketika sudah bicara. Sumi menghela napas. Dia masih membelekangi Bapak dan mengiris bawang merah untuk masak. Untuk ke sekian kalinya omelan itu terasa menusuk hati Sumi. Bapak selalu mengungkit keinginannya untuk bersekolah lagi dan menyalahkan karena sampai saat ini belum menghasilkan rupiah. Hinaan, cibiran dan perlakuan Bapak membuat Sumi benar-benar terluka. Namun rupanya Tuhan mendengar setiap alunan doa yang dipanjatkan olehnya. Pertemuannya dengan Hiraka Yamada-seorang pegolf yang merupakan bos dari salah satu perusahaan automotive ternama di tanah air membuka jalannya untuk meraih kejayaan. Namun ada satu hal yang tiba-tiba terasa kosong, Zaki-sahabat dekat Sumi yang dulu selalu ada ketika dia butuhkan tiba-tiba menghilang. Sumi tak tahu jika Zaki menaruh rasa padanya. Zaki pergi dengan masih memendam segenggam cinta di hatinya. Akankah kehidupan mereka berakhir bahagia? viewsCompleted Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini Aku tidak mengerti dengan kisah cinta ku yang begitu rumit. Rara adalah seorang wanita yang tangguh, dia sedang mengalami kesulitan dalam hidupnya. David cowo setia yang selalu siap menemani Rara dalam keadaan seperti apapun. Mereka awalnya bersahabat dan diantara mereka ada yang menumbuhkan perasaan. Dan akhirnya setelah beberapa tahun mereka bersahabat, akhirnya mereka berpacaran. Ada mantan David yang bernama Alice, dia tidak suka dengan hubungan Rara dan David. Dengan berusaha sebisa mungkin dia melakukan beberapa cara untuk memisahkan mereka dengan mencari-cari kesalahan. Dan setelah masalah nya selesai akhirnya David dan Rara berbahagia. viewsOngoing Mimpi Buruk Dunia Persilatan Seorang anak berusia enam tahun, hidup sebatang kara tanpa memiliki kedua orang tua atau keluarga, pertempuran besar membuatnya harus terpisah dengan kedua orang tua, ia juga harus menjalani hidup penuh rintangan di dunia Nirvana, anak tersebut bernama Lan Shi atau Putra pertama Sang pembalik Langit Dunia Persilatan, ayahnya adalah Raja Para dewa, sedangkan ibunya Seorang Dewi keadilan. Identitas Lan Shi tidak diketahui siapapun, di usia enam tahun Lan Shi tinggal bersama kakek An Hui, perjalanannya dimulai sambil mencari keberadaan ayah dan ibunya. Lan Shi memiliki seorang teman ajaib yaitu Peri kecil atau pasir waktu, peri kecil memberitahu kalau banyak orang sedang memburunya, ia memutuskan untuk bersembunyi di dalam kantong kecil milik Lan Shi. Tiga tahun tinggal di hutan, Pria tua menemukan keberadaan Lan Shi, ia mengangkat sebagai cucu asuh dan membawanya pulang kediaman keluarga, keluarga tersebut diberi nama keluarga An, sekarang Lan Shi dipanggil dengan sebutan An Lan yang artinya subur tak pernah layu dalam bahasa dunia persilatan. viewsCompleted Pembalik Langit Dunia Persilatan Immortal Lou, pendekar terkuat di dunia persilatan. Namanya, tidak berani disebut. Tidak ada yang dapat mengalahkan kekuatannya. Kekuatannya itu, membuat empat Kekaisaran mengerahkan pendekar terkuat untuk memusnahkan immortal Lou. Satu orang, mengalahkan ribuan pendekar terkuat tanpa gentar, membuat namanya semakin ditakuti. Namun, immortal Lou memiliki satu kelemahan. Kelemahannya itu adalah orang tuanya, yang mana mereka tidak mungkin dilawan olehnya. Immortal Lou, tertangkap dan hukuman akan dijatuhkan di gerbang dosa. Di saat ia mengira keabadiannya akan musnah, di saat itulah muncul seseorang yang menyelamatkan dirinya. Putri Lien, itulah sosok yang muncul untuk menyelamatkan pendekar terkuat itu. viewsCompleted Bed Friend Seperti linglung seolah berjalan tanpa arah. Orang-orang datang lalu pergi dengan mudahnya seperti permisi ke jamban saja. Menciptakan rasa cemas sekaligus takjub. Hidup dalam segala pengharapan benar-benar bagaikan menggali lubang kubur sendiri. Tak ada yang sungguh setia selain kesedihan. Meski dia menyakitkan namun tidak seperti kesenangan yang kerap kali datang lalu tiba-tiba hilang tanpa pamit. Begitulah Lisa, hadir dengan segala kelinglungannya mencari jati diri, mengejar impian, persahabatan hingga berakhir dalam kisah cinta yang tidak pernah terencana sebelumnya. Bagaimanakah hidup akan membawa Lisa mengejar impiannya, dan bagaimanakah kelanjutan hubungannya dengan kekasih sekaligus sahabatnya ? Selamat datang di Lalisa... viewsOngoing KategoriJudul Lepas Cerita Silat Indonesia. Daftar Judul Lepas Cerita Silat Indonesia berisi cerita silat dengan latar belakang Indonesia khususnya pulau Jawa. Cerita silat di kategori ini adalah judul lepas, artinya 1 judul tamat, tidak ada sambungan cerita lain. Kidung Senja Di Mataram Rp 48.000. Habis. Pendekar Gunung Lawu Rp 20.000. .
  • 7ymleh30lo.pages.dev/5
  • 7ymleh30lo.pages.dev/714
  • 7ymleh30lo.pages.dev/938
  • 7ymleh30lo.pages.dev/917
  • 7ymleh30lo.pages.dev/362
  • 7ymleh30lo.pages.dev/14
  • 7ymleh30lo.pages.dev/753
  • 7ymleh30lo.pages.dev/934
  • 7ymleh30lo.pages.dev/170
  • 7ymleh30lo.pages.dev/245
  • 7ymleh30lo.pages.dev/217
  • 7ymleh30lo.pages.dev/971
  • 7ymleh30lo.pages.dev/244
  • 7ymleh30lo.pages.dev/746
  • 7ymleh30lo.pages.dev/201
  • cerita silat jawa mataram